Rabu, 06 April 2011

Rapuhnya Ketahanan Pangan Negeriku


..hidup matinya suatu Negara ditentukan oleh pertanian..(Ir. Sukarno)
“Bahaya kelaparan?..Di pulau Jawa yang subur dan kaya itu, bahaya kelaparan? Ya, saudara pembaca. Beberapa tahun yang lalu ada distrik-distrik yang seluruh penduduknya mati kelaparan. Ibu-ibu menjual anak-anak untuk makan, ibu-ibu memakan anaknya sendiri ”(Multatuli, Max Havelaar, 1972 (asli 1860): 64)
Perkataan Ir. Soekarno diatas bukanlah isapan jempol belaka. Keadaan bangsa-bangsa maju di dunia bisa menjadi bukti kebenaran perkataan sang proklamator. Ketahanan pangan bangsa-bangsa ini sungguh luar biasa, walau mereka bukanlah negara agraris. Tingkat kesehatan dan kesejahteraan rakyatnya sangat tinggi, dengan tersedianya bahan pangan yang berkualitas dan bergizi sebagai penyebab utamanya. Multatuli dalam Max Havelaar diatas menyadarkan kita akan masalah klasik yang menghantui negeri agraris ini, kelaparan.
Rakyat Indonesia sebanyak 230 juta akan menghadapi masalah pangan serius apabila tidak ada perubahan di bidang pertanian secepatnya. Ketidakmampuan mengkonsumsi sumber protein lain akibat kemiskinan menyebabkan beras menjadi sumber utama karbohidrat. Beras pun menjadi sumber pangan yang semakin populer. Misalnya Jawa, pulau dengan produksi padi tertinggi di Indonesia ini memiliki lahan tanam padi seluas 14.395 ha (BPS 2010). Data ini cukup mencemaskan, ditambah lagi dengan adanya program konversi lahan pertanian produktif. Kecepatan konversi lahan pertanian sendiri mencapai 110-110 ribu hektar per tahunnya. Akibatnya, Indonesia mengalami potensi kehilangan produksi padi 506.000 ton/tahun.
Penurunan tingkat produktivitas padi yang disebabkan oleh kelebihan pupuk ditambah berkurangnya investasi untuk sektor pertanian, seperti riset, penyuluhan, dan kredit pertanian merupakan masalah pelik lainnya. Masalah kompleks diatas sebenarnya berakar pada kebijakan pemerintah yang kurang tepat, serta tingkat pendidikan penduduk Indonesia (terutama petani) yang rendah. Kemampuan pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri yang semakin berkurang dan ketergantungan terhadap impor bahan pangan dari negara- negara lain merupakan buktinya.
Data yang diperoleh dari Bataviase.co.id,  pada tahun 1998, Indonesia justru menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia dengan jumlah 5.959.155 ton. Data terbaru menyatakan Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan produksi padi 2010 berdasarkan Angka Ramalan (ARAM) I meningkat 0,88 % atau sebesar 64,90 juta ton Gabah Kering Giling (GKG). Angka tersebut menurun dibandingkan dengan Angka Sementara (ASEM) produksi pada 2009 yang meningkat 6,64 %.
Peran pemerintah dalam mengatasi kerawanan pangan mutlak diperlukan. Ada beberapa langkah yang semestinya dilakukan. Pertama, dibutuhkan aksi nyata yang lebih banyak dari pemerintah untuk mengatasi kerawanan pangan. Kedua, pemerintah hendaknya mengembangkan kesadaran dan pemberdayaan petani untuk meningkatkan posisi tawar petani. Ketiga, peningkatan pengembangan kemandirian dan organisasi tani serta pelindungan hak asasi petani . Terakhir, pemerintah diharapkan meningkatkan investasi untuk sektor pertanian yang meningkatkan produksi pangan seperti riset, penyuluhan, serta kredit pertanian.
Keempat faktor ini bisa diwujudkan dengan berbagai cara, misalnya subsidi kepada petani yang tepat sasaran disertai kredit ringan, pengendalian harga bagi konsumen, bantuan pemanfaatan lahan untuk usaha tani keluarga, pengajaran soal ketahanan pangan ke sekolah-sekolah maupun ke petani itu sendiri, pengadaan riset dan penyuluhan, pengadaan kredit pertanian, serta perlindungan terhadap polusi lahan pertanian.
Negara agraris ini pasti sanggup untuk menjadi agraris kembali.
sumber : dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar